Makna Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia
Umat CIC Sydney ytk,
Dalam bulletin minggu ini, saya masih menampilkan refleksi atas kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia. Kali ini saya menampilkan refleksi dari Dinna Prapto Raharja, Pengajar & Praktisi Hubungan Internasional; Pendiri Synergy Policies. Selamat menikmati Analisa dan refleksi seorang awam yang menarik ini.
Ada pro dan kontra seputar kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia. Mengapa Sri Paus melakukan perjalanan apostolik pada momen-momen sekarang ini? Apa agenda beliau sebagai pemimpin negara Vatikan? Apa refleksinya untuk Indonesia masa kini?
Dari sisi individu, kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia adalah heroik, tetapi sikap beliau sangat rendah hati. Para pejabat diplomatik Vatikan mengatakan perjalanan Sri Paus ke Asia-Oseania, termasuk ke Indonesia, adalah sebuah perjalanan yang ”membahayakan” (daunting, heroic, even punishing). Dalam usia 87 tahun, Paus Fransiskus terbilang sensitif pernapasannya karena sebagian paru-paru kanannya sudah diangkat akibat infeksi. Artinya, Sri Paus rentan dengan udara yang polutif seperti di Jakarta. IQair melaporkan bahwa indeks kualitas udara Jakarta adalah 165 pada saat Sri Paus datang, Selasa (3/9/2024), dan memburuk keesokan harinya mencapai 174 pada siang hari. Kualitas udara Jakarta berarti sangat tidak sehat, bahkan tingkat udara kotornya paling tinggi se-Indonesia. Tindakan Sri Paus, seperti menurunkan jendela untuk melambaikan tangan sepanjang jalan, memberkati anak-anak di jalan raya hingga berbicara di luar gedung, sesungguhnya mengancam kesehatan Sri Paus. Namun, Sri Paus tak henti menunjukkan kerendahan hati dan fokus pada misinya.
Dari sisi sebagai pemimpin negara, Paus Fransiskus prihatin akan pendulum politik dunia yang sedang bergerak mencari titik keseimbangan baru. Transisi politik dunia ini belum jelas mengarah ke mana. Platform kerja sama lintas kepentingan antar negara yang mengedepankan kesetaraan, inklusivitas, dan semangat mencari solusi bersama (yang dikenal dengan istilah multilateralisme) sedang tidak dipercaya. Negara-negara dunia lebih percaya pada negosiasi bilateral dan tidak segan menyuarakan perang dagang, melakukan proteksionisme dan kecurangan seperti dumping. Peningkatan pamor negara-negara di Asia disikapi dengan negatif oleh Barat; pengucilan dan penolakan cara-cara negosiasi dilakukan berulang kali. Akibatnya, yang mengemuka adalah polarisasi, yaitu kemenangan satu pihak akan telak memukul pihak yang lain (zero sum game). Akibatnya, kerja sama bidang sosial politik dan sosial budaya kena dampaknya. Contohnya adalah berlarut-larutnya masalah hak asasi manusia, seperti hak kaum migran dan pekerja migran, kejahatan perdagangan orang, makin terbukanya praktik genosida, serta lemahnya komitmen negara-negara dunia untuk mengurangi emisi karbon. Di sisi lain, perbedaan pendapat disikapi secara negatif, bahkan ditumpas, sehingga masyarakat adat dan minoritas terbungkam, hak pekerja dirampas.
Aneka perkembangan tersebut menarik perhatian Vatikan sebagai suatu negara berdaulat yang punya independensi bersikap dalam hubungan internasional. Memimpin dan menginspirasi 1,375 miliar (17,67 persen populasi dunia) umat Katolik di seluruh dunia, Vatikan hanya memiliki kekuatan soft-power berupa nilai-nilai etika kemanusiaan. Vatikan tidak punya senjata nuklir, sumber daya alam, atau kekuatan finansial yang memungkinkannya bertindak secara tegas dalam kancah politik global. Dengan demikian, berhadapan dengan aneka kekuatan ekonomi dan politik global, Vatikan menghadapi masalah yang rumit.
Pertama adalah pertentangan nilai-nilai liberal yang kini berkembang di banyak negara dengan ajaran Gereja Katolik. Ambil contoh Eropa yang masyarakatnya makin bangga dengan ilmu pengetahuan, merasa lebih humanis daripada ajaran Katolik sehingga memisahkan diri dan masyarakatnya, bahkan menentang, dari pengaruh Gereja. Kita bisa lihat cara negara-negara di Eropa memperlakukan isu aborsi dan orientasi seksual yang bertumpu pada individualisme.
Kedua, bermunculannya kelompok-kelompok yang menggunakan nilai-nilai Kristiani untuk memperkuat posisi politik mereka. Sri Paus menyentil para politisi yang menggunakan jubah kebesaran agama demi memecah belah masyarakat dan mendulang suara, padahal politik bisa digunakan sebagai amal bagi sesama. Tindakan menghalalkan suap, korupsi, anti-imigran, xenophobia, persekusi terhadap penganut kepercayaan yang berbeda, pemanfaatan politik identitas dan nasionalisme berlebih demi memenangkan suara adalah bentuk-bentuk politik yang dikhawatirkan Sri Paus. Dan, Sri Paus mengingatkan juga Gereja untuk menjadi bagian dari perjuangan melawan kekhawatiran tersebut.
Dengan keterbatasannya sebagai negara kecil, Vatikan membawa contoh-contoh untuk ditiru: 1) mengungkap, menyelesaikan, dan mencegah berulangnya skandal-skandal di dalam gereja; 2) mengurangi birokrasi dan membuat keputusan yang lebih demokratis di dalam gereja.
Sri Paus juga mencoba menjembatani tidak hanya nilai-nilai Kristiani dengan kelompok antarumat beragama lain yang berbeda doktrin, tetapi juga dengan nilai-nilai sekuler dan liberal.
Pertama, tentang pentingnya toleransi dan hidup rukun antarumat beragama. Sri Paus menegaskan bahwa penyeragaman dapat menyebabkan masalah. Di Indonesia, patut dihargai, meski tidak ada hukum positif atas agama tertentu, tidak terjadi penghinaan secara terbuka, seperti membakar kitab suci.
Kedua, mengedepankan falsafah bersama, seperti Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan mencantumkannya dalam Konstitusi UUD 1945 adalah patut dipuji. Model ini bisa menjadi rujukan negara-negara yang berkonflik.
Ketiga, nilai-nilai keadilan sosial adalah misi Gereja Katolik. Yang dikritik Gereja dalam aliran liberal dan sekuler adalah solusi untuk menghapuskan kemiskinan dan ketimpangan dengan cara memberlakukan ”hukum kematian”. Hukum kematian yang dimaksud di sini adalah tindakan-tindakan selain penggunaan alat-alat pengontrol kelahiran, seperti aborsi. Gereja Katolik menentang kelompok yang menghalalkan eksploitasi dari individu (seperti bayi dalam rahim) dan kelompok yang lemah (kaum pinggiran). Kelompok yang kuat selayaknya melindungi kelompok yang lemah.
Refleksi untuk Indonesia
Mendapatkan pujian dari Sri Paus, Indonesia harusnya menjadi lebih mawas diri. Dalam pidatonya, Sri Paus mengingatkan kita bahwa kekuatan Indonesia bukanlah ”harta karun” dalam bentuk sumber daya alam, melainkan justru relasi antarwarga negara yang berbasis toleransi, kerukunan, dan penghormatan atas hak-hak asasi. Semoga Indonesia semakin jaya karena semangat Bhineka Tunggal Ika: Bersatu dalam keberagaman.
Umat CIC Sydney,
Kita juga mempunyai semboyan satu hati dalam keanekaragaman. Semoga refleksi ini semakin menyemangati kita dalam membangun CIC Sydney untuk semakin bertumbuh dalam keanekaragaman dengan satu semangat: menghadirkan cinta dan sukacita di dalam pelayanan.
RP. Agustinus Handoko HS MSC
Chaplain to the Indonesian Community
193 Avoca St, Randwick NSW 2031
PO BOX 309, Randwick NSW 2031
Email: hanhanmsc@yahoo.com atau Chaplain@cicsydney.org