Test PCR-ku yang keenam. Kali ini antrian panjang sekali. Beberapa kali orang mendekat dan bertanya, ‘’ Is this the end of the line?” Dan ketika saya menengok ke belakang sambil menunjukkan awal dari antri panjang ini, saya hitung lebih dari 70 orang antri. Setelah 45 menit menunggu, belum juga ada tanda-tanda mendekati klinik. Saya mematikan mobile phone yang tinggal 15%. Dan memutuskan untuk berkonsentrasi pada pernafasan. Menunggu, ternyata bukan pekerjaan yang menyenangkan. Ada perasaan bosan, khawatir kalau justru sekarang ini saya akan tertular karena banyaknya orang. Dan waktu seperti mengalir begitu pelan.
Teringat Natal yang menjelang tiba. Yesus datang ke dunia tidak memilih lahir di istana megah, namun hadir di keluarga sederhana. Keluarga yang bukan mengatur, tetapi diatur oleh para penguasa sehingga perlu mengadakan perjalanan ke Bethlehem untuk mencacah jiwa. Keluarga yang sangat miskin sampai harus melahirkan di kandang, di antara kasta paling rendah dalam masyarakat: para gembala. Keluarga yang harus mengungsi karena Herodes Agung, Raja kuat kuasa namun paranoid memiliki ide sangat gila membunuh anak di bawah 12 tahun yang dianggap mengancam kekuasaannya.
Mengapa Allah memilih untuk hidup dalam kelemahan dan keringkihan manusiawi? Kenapa Allah tidak mengubah struktur masyarakat yang lebih adil dengan mengambil peran sebagai raja? Dia justru datang ke medan nyata dari hidup manusia yaitu kekawatiran, ketakutan. Kenapa di kala manusia berlomba memanjat tingkat kekayaan dan kemakmuran, Allah yang sudah maha kuasa justru turun menjadi manusia di tingkat yang paling dasar?
Ingatanku melayang pada zaman-zaman lampau. Teringat waktu di TK saya merasa khawatir sekali dan sebentar-sebentar menengok ke jendela, memastikan Ibuku ada di sana. Teringat waktu ujian masuk di sebuah Universitas dan saya begitu khawatir jika tidak diterima. Teringat waktu naik pesawat dari Filipina ke Malaysia, waktu take off ada typhoon dan ketika pesawat naik, suasana di luar pewawat gelap gulita, penumpang tegang dan tanpa suara kecuali suara orang berdoa dengan hati pilu. Dan ternyata saya baik-baik saja sampai sekarang.
Rupanya Tuhan ingin menjadi manusia yang menyentuh ketakutan yang paling dalam dari manusia. Dan dalam ketakutan itu, Allah hadir. Bukankah bayi Yesus tidur nenyak di atas rumput-rumput kering dan gatal di keranjang tempat membagi makanan pada ternak. Allah menyertai kita juga di dalam ketakutan yang paling dasar.
Sekarang pun, kekhawatiran tetap ada. Jumlah covid-19 case melambung tinggi. Lebih dari lima ribu kasus hari ini. Tuhan, jagalah umatku. Pada kontes aktual Yesus lahir, kecemasan dan kekawatiran lebih dalam lagi. Bangsa Yahudi adalah bangsa terjajah. Dipaksa membayar pajak. Secara politik, mereka bisa dihukum sangat berat jika kedapatan bersalah. Maka kata jangan takut selalu terulang-ulang dalam Kitab Suci.
Namun dalam hati yang paling dalam juga saya rasakan ketenangan dan kesejukan. Bukankah Imanuel, Allah yang beserta kita juga akan menemani kita saat hati kita digelapkan dengan kekhawatiran dan ketakutan? Kekhawatiran kita tahun ini benar-benar memberi konteks sukacita karena Allah peduli pada kita. Allah menyertai kita. Selamat Natal 2021 dan menjelang Tahun Baru 2022. Tahun ini sungguh-sungguh Natal karena kita merasakan kecemasan yang real, seperti orang-orang sejaman dengan Tuhan Yesus. Dan mendamba agar Natal tahun ini membawa pemulihan dan pembaharuan.
Saudaramu dalam Tuhan,
Fr. Petrus Suroto MSC